Aturan Perpajakan PPh Pasal 15 Kantor Perwakilan Dagang Asing (KPDA):
Terhadap KPDA (yang telah memenuhi syarat subyektif sebagai Bentuk Usaha Tetap) dikenai PPh Pasal 15 sebesar 0,44% dari nilai Ekspor Bruto Head Officenya ke Indonesia. Dengan rincian tarif sebagai berikut:
PPh Pasal 15 = [PPh Badan] + [PPh Branch Profit Tax BUT]
PPh Badan = (Tarif PPh Badan) X (Perkiraan Pengasilan Neto)
= (30%) X (1% X Ekspor Bruto)
= 0,3%
PPh Branch Profit Tax= [(Perkiraan Penghasilan Neto-PPh Badan) X Tarif Branch Profit Tax sesuai P3B]
= [(Perkiraan Penghasilan Neto-PPh Badan) X 20%]
= 0,14%
sehingga Tarif PPh Pasal 15 KPDA= 0,44% dari Nilai Ekspor Bruto
[PMK-634/KMK.04/1994; SE Dirjen Pajak SE-2/PJ.03/2008]
Pokok Sengketa:
Aturan di atas diterbitkan ketika UU PPh mengatur bahwa tarif PPh Badan adalah 30%. Berjalannya waktu, terdapat beberapa kali perubahan UU PPh, sehingga tarif PPh Badan juga mengalami perubahan. Semula adalah 30%, kemudian berubah menjadi 28%, lalu 25%, dan saat ini tarif PPh Badan sesuai UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, tarif PPh menjadi 22%.
Dengan berubahnya tarif PPh Badan tersebut, apakah juga akan mengubah besaran tarif PPh Pasal 15?
Yang semula=(30% X 1%) + (20% X (1-0,3))
menjadi =(28% X 1%) + (20% X (1-0,28))
28% adalah Tarif PPh Badan yang berlaku di tahun pajak 2010.
Putusan Hakim terhadap Pokok Sengketa:
Terdapat Putusan Mahkamah Agung Put.45364/PP/M.II/27/2013 tentang upaya Peninjauan Kembali terkait sengketa tarif PPh Badan dalam menentukan PPh Pasal 15 terutang, Majelis Hakim mengabulkan seluruhnya permohonan Wajib Pajak, yaitu menyesuaikan tarif PPh Badan yang semula 30% menjadi tarif PPh Badan yag berlaku pada tahun pajak 2010 yaitu 28%.
Bagaimana sikap Aparatur Administrasi Perpajakan terhadap Putusan Hakim ini?
Pendapat 1
Dalam dunia hukum dikenal adagium res iudikata pro veritate habetur, yang berarti putusan hakim dianggap benar dan harus dilaksanakan oleh para pihak, sampai ditemukannya novum (data baru) yang bertentangan dengan Putusan tersebut. Novum tersebut harus diuji oleh Hakim di pengadilan.
Selain itu aparatur administrasi perpajakan dilarang melakukan tindakan melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan/atau bertindak sewenang-wenang. Diantara definisi bertindak sewenang-wenang adalah badan/pejabat pemerintahan mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan tetap. (Pasal 17 dan 18 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan).
Dengan demikian, dalam menghitung Tarif PPh Pasal 15 seharusnya disesuaikan terlebih dahulu dengan Tarif PPh Badan yang berlaku di suatu tahun pajak.
Pendapat 2
Indonesia tidak mengenal juris prudensi, sehingga Putusan Hakim di atas dapat saja dichalenge dengan mengemukakan data baru.
Bagaimana pendapat anda?
0 Post a Comment:
Posting Komentar