![]() |
dari thoughtco.com |
Jawab:
Pendapat 1:
Tidak wajib, karena Pasal 23 UU PPh terdapat frasa "...yang dibayarkan oleh BUT atau Kantor perwakilan perusahaan asing lainnya kepada WP Dalam Negeri ... dipotong oleh pihak yang wajib membayarkan ... imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa lainnya ..." .
Karena yang membayar adalah Kantor Pusat BUT yang berada di luar negeri secara langsung kepada rekening bank Penyedia jasa (di Indonesia), maka frasa 'yang dibayar oleh BUT/KPPA' menjadi tidak terpenuhi. Sehingga kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 tersebut menjadi tidak ada.
Pendapat 2:
Wajib.
Bentuk Usaha Tetap/KPPA lainnya adalah satu kesatuan dengan Kantor Pusatnya karena mereka pada hakikatnya adalah satu perusahaan [Penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU PPh]. Dengan demikian yang dibayarkan langsung oleh kantor pusat BUT/KPPA tersebut pada hakikatnya adalah untuk kegiatan BUT/KPPA tersebut, sehingga kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 tetap ada.
Jurisprudensi yang mendukung pendapat 2:
1. Putusan Peninjauan Kembali REG.NOMOR 1883/B/PK/PJK/2021 antara pemohon Maskapai Q melawan termohon DJP, Amar menolak pemohon;
2. Putusan Peninjauan Kembali REG.NOMOR 1916/B/PK/PJK/2021 antara pemohon Maskapai Q melawan termohon DJP, Amar menolak pemohon;
3. Putusan Banding PUT-008919.12/2020/PP/M.VIA Tahun 2021 antara pemohon banding Maskapai Q melawan terbanding DJP, Amar menolak pemohon;
4. Putusan Banding PUT-008914.12/2020/PP/M.VIA Tahun 2021 antara pemohon banding Maskapai Q melawan terbanding DJP, Amar menolak pemohon;
5. Putusan Banding PUT-008915.12/2020/PP/M.VIA Tahun 2021 antara pemohon banding Maskapai Q melawan terbanding DJP, Amar menolak pemohon;
Kasus yang disengketakan adalah sebagai berikut:
1. Maskapai Penerbangan Q melayani penerbangan Jakarta-Sydney pp, untuk itu Maskapai memanfaatkan jasa penunjang kebandarudaraan yang diberikan oleh Angkasa Pura;
2. Angkasa Pura menagih biaya sehubungan dengan jasa yang diberikannya, kemudian kantor Pusat Maskapai Q (Sydney) melakukan pembayaran langsung (tanpa melalui rekening Kantor perwakilannya di Indonesia) kepada rekening Angkasa Pura;
3. Maskapai Q tidak memotong PPh Pasal 23 atas imbalan sehubungan dengan Jasa tersebut dengan alasan dibayar langsung oleh Kantor Pusat melalui metode kredit langsung kepada rekening Angkasa Pura;
4. Kantor pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) kepada Maskapai Q, atas PPh Pasal 23 yang kurang/tidak dipotong.
5. Setelah melakukan prosedur Keberatan atas SKPKB, Maskapai Q mengajukan Banding kepada Pengadilan Pajak kemudian dilanjutkan mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, karena pemohon berpendapat bahwa biaya atas Jasa tersebut adalah biaya kantor pusat, dan tidak dicatat sama sekali dalam pembukuan Kantor perwakilan, sehingga seharusnya Surat ketetapan pajak tersebut tidak diterbitkan.
Pendapat Majelis Pengadilan Pajak:
Bahwa terkait pembayaran langsung dilakukan oleh Q sebagai induk perusahaan, hal itu tidak menghilangkan kewajiban pemohon banding untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 23 dengan penjelasan sebagai berikut:
1. bahwa sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 5 UU PPh yaitu bahwa pada dasarnya BUT merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya;
2. bahwa pembayaran overflying charges merupakan pembayaran kepada pihak lain terkait dengan kegiatan yang termasuk dalam ruang lingkup pemohon banding yaitu kegiatan bidang operasi dari perusahaan angkutan udara asing di Indonesia, dengan demikian pembayaran yang dilakukan oleh Q (kantor pusat) pada dasarnya merupakan pembayaran yang wajib dibayarkan oleh pemohon banding yang merupakan BUT di Indonesia;
3. bahwa sesuai dengan Pasal 23 UU PPh diatur bahwa Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada WP dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan ... dst;
4. bahwa berdasarkan penelitian surat keterangan terdaftar nomor xxx/WPJ.07/2012 diketahui bahwa pemohon banding adalah bentuk usaha tetap dan salah satu kewajiban pemohon banding adalah pemotongan PPh Pasal 23;
5. bahwa kewajiban pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa overflying charge tersebut sesuai dengan Pasal 23 UU PPh berlaku baik untuk BUT maupun perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
Kesimpulan:
Atas imbalan sehubungan dengan jasa yang dimanfaatkan di Indonesia merupakan Objek PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh BUT/KPPA lainnya meskipun yang melunasi atas pemakaian jasa tersebut adalah Kantor Pusat dari BUT/KPP lainnya tersebut.
0 Post a Comment:
Posting Komentar